Saturday, September 6, 2008

Kasih sayang atau kerja

Seorang bapa pulang ke rumah dalam keadaan letih disambut baik oleh
anaknya yang berusia 7 tahun. Sambil mengangkat briefcase ayahnya, si
anak itu bertanya kepada ayah.....

Anak: Ayah... ayah.. boleh Amin tanya satu soalan?
Ayah: Hmmm.... nak tanya apa?
Anak: Ayah... berapa pendapatan ayah sejam di pejabat?
Ayah: Itu bukan urusan kamu, buat apa sibuk-sibuk nak tanya? Si ayah mula menengking.
Anak: Amin saja nak tahu ayah... Tolonglah beritahu berapa pendapatan ayah sejam di pejabat?
Si anak mula merayu pada ayahnya.
Ayah: 20 ringgit sejam.. Kenapa nak tahu? Jerkah ayahnya lagi.
Anak: Oh..20 ringgit..
Amin menundukkan mukanya.
Anak: Ayah.. boleh tak bagi Amin pinjam 10 ringgit dari ayah?
Si ayah mula menjadi berang dan berkata, "Oh, itu ke sebabnya kamu
tanya pasal pendapatan ayah? Kamu nak buat apa dengan duit tu?
Mintak sampai 10 ringgit? Nak beli mainan lagi?? Ayah penat-penat kerja cari duit, kamu senang-senang nak membazir ya.. Sudah, pergi masuk bilik.. tidur!
Dah pukul berapa nih...!! Si anak itu terdiam dan perlahan-lahan dia kembali ke biliknya. Si ayah duduk di sofa sambil memikirkan mengapa anaknya yang sekecil
itu meminta duit sampai 10 ringgit. Kira-kira 2 jam kemudian, ayah
kembali tenang dan terfikir kemungkinan besar anaknya benar-benar
memerlukan duit untuk keperluan di sekolah kerana anaknya tak pernah meminta
wang sebegitu banyak sebelum ini.

Dengan perasaan bersalah, si ayah melangkah menuju ke bilik anaknya. Didapati anaknya masih belum tidur. "Kamu benar-benar perlukan 10 ringgit? Nah.. ambil ni" Si ayah mengeluarkan sekeping duit kaler merah. Si anak itu segera bangun dan tersenyum girang.
"Terima kasih banyaklah ayah!"

Lalu dia mengangkat bantalnya dan mengeluarkan sekeping nota 10 ringgit yang sudah renyuk terhim pit oleh bantal. Bila ternampak duit itu, si ayah kembali berang. "Kenapa kamu mintak duit lagi sedangkan kamu dah ada duit sebanyak itu?? Dan dari mana kamu dapat duit tu??"

Amin tunduk... tak berani dia merenung ayahnya. Sambil menggenggam kemas duit itu, dia menerangkan....."Duit ni Amin kumpul dari belanja sekolah yang ayah bagi hari-hari. Amin minta lagi 10 ringgit kat ayah sebab Amin tak cukup duit..."

"Tak cukup duit nak beli apa??" Jerkah ayahnya lagi.

"Ayah.... sekarang Amin dah ada 20 ringgit.. Nah.. ayah ambil duit ni. Amin nak beli sejam dari masa ayah di pejabat tu. Amin nak ayah balik kerja awal esok. Amin rindu nak makan malam dengan ayah.."
Jelas Amin tanpa memandang wajah ayahnya...

Mandikan aku bonda...

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademik maupun profesion yang akan diceburinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universiti menghantar mahasiswa untuk studi International Law di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menyelesaikan pendidikan kedoktoran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesion.Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani dilantik
sebagai staf diplomat, bertepatan dengan selesainya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, hampir setiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Sebenarnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan pantas Rani menjawab,''Oh, saya sudah mengandaikan segala sesuatunya. Everything is OK!''
Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Layanan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter "mahal". Rani cuma mengawal jadual Alif
melalui telefon. Alif membesar menjadi anak yang kelihatan lincah, cerdas dan mudah mengerti.

Nenek-neneknya selalu menonjolkan kebanggaan mereka kepada cucu yang amat dikasihi itu, tentang kehebatan ibu-bapanya. Tentang jawatan dan nama besar, tentang kekerapan menaiki pesawat, dan wang yang banyak.
''Contohlah ayah-bonda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu
nenek Alif, ibu Rani, berpesan di akhir cerita sebelum tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Sungguh anak kecil ini "memahami" orang tuanya.
Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karaktor ibunya yang bukan perengek.

Meski kedua orangtuanya kerap pulang lewat, ia jarang sekali merungut.Bahkan, kata Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, fikir saya. Meskipun kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap membesar penuh cinta. Diam-diam, saya irihati pada keluarga ini. Suatu hari, sebelum Rani berangkat ke pejabat, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. "Alif ingin Bonda mandikan", ujarnya penuh harapan. Serba salah saja Rani, yang setiap detik waktunya sangat berharga, gusar. Ia menolek permintaan Alif sambil terus berdandan dan mempersiapkan keperluan pejabatnya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.

Sesungguhnya, Alif mengerti dan menurut, meskipun wajahnya berkerut. Peristiwa ini berulang sampai hampir seminggu. ''Bonda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Lalu, Rani dan suaminya berfikir, mungkin itu kerana Alif sedang dalam masa pra-sekolah,jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dipujuk-pujuk, akhirnya Alif
dapat ditinggal juga.

Pada satu petang, saya dikejutkan oleh telefon Mien, si baby sitter. 'Puan doktor, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Dengan pantas, saya terus ke ICU. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, telah dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu tentang Alif, sedang meresmikan pejabat barunya.
Ia sangat terperanjat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah seminggu Alif mula menuntut dimandikan, Rani memang
menyimpan komitmen untuk suatu masa memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terkabul, meskipun setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bonda Lif, Bonda mandikan Alif,'' ucapnya lemah, di tengah-tangah jamaah yang sunyi. Satu persatu rakan Rani menjauhi dari sisinya, berusaha menyembunyikan tangisan.

Ketika tanah merah telah menutup jasad si kecil, kami masih berdiri di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah masanya, ia dia pergi juga kan ?" Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak memerlukan hiburan dari orang lain. Suaminya tegak seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat, pandangannya kosong. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan," ujar Rani, tetap mencuba tegar dan kuat. Hening seketika. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. "Aku ibunyaaa!" teriaknya seperti histeria, lalu meraung hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih lagi tangisan yang meledak. "Bangunlah Lif, Bonda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bonda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif.." Rani merintih merayu-hiba. Seketika kemudian, ia mencampakkan dirinya ke pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi dapat menolongnya.
-- Hal yang nampaknya mudah sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang yang sibuk 'di luar', asik dengan dunianya dan ambition sendiri hingga mengabaikan orang-orang disampingnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahawa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti kerana mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Semoga yang membacanya dapat mengambil iktibar yang terkandung dalam kisah tersebut.

------------ ----------------- --------- ---------
--------- --------- ---
---- -

mungkin kita kerja luar untuk sehari dua dan permintaan si kecil yang selalu tinggal dengan bibik kita ambil mudah, minta air kita suruh bibik ambik, sikat rambut, bibik sikat, mandi dan berpakaian seperti di atas, pastinya bibik juga....kadang kala tidur si kecil pun dengan bibik...untunglah mereka yang dapat bersama anak selalu. Mungkin juga bukan sahaja anak-anak kita, bagaimana pula suami/isteri/ayah dan ibu di kampung.....

So, doa-doalah agar kurang out station kita, kalau perlu juga, doa-doalah kita sempat lihat wajah mereka apabila pulang nanti...

Allah Maha Pengasih

Sepasang suami isteri yang sudah bernikah selama 7 tahun dan memiliki 3orang anak, terlibat dalam sebuah pertengkaran hebat.

Begitu hebatnya pertengkaran mereka, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai, mengakhiri kehidupan rumah tangga mereka secepat mungkin.

Mereka menemui seorang peguam, untuk melangsungkan perundingan

Pembagian harta diantara mereka, perundingan berlangsung lancar, namun akhirnya sebahagian besar masalah selesai, baik tanah, rumah, dan semua asset harta mereka dapat dibahagikan dan mencapai kepuasan kedua belah pihak.

Hanya satu hal tidak ditemukan jalan keluarnya, iaitu mengenai pembagian anak [jangan lupa anak mereka tiga orang], baik si suami maupun si istri sama sama ingin mengasuh 2 anak, tidak ada yang mau mengalah, dan anak tidak mungkin dibelah dua seperti pada Zaman Sulaiman dulu.

Akhirnya mereka menemui seorang tokoh agama, meminta nasehat bagaimana jalan keluar yang harus ditempuh. Sang Imam akhirnya memberika jalan keluar yang bijak, yaitu mereka diminta menunda perceraiannya selama satu tahun, mereka harus menambah satu orang anak selama satu tahun, bila Tuhan mengizinkan perceraian mereka, Tuhan akan memberikan tambahan satu anak, total menjadi 4 anak, sehingga mudah untuk dibagi diantara mereka berdua.

Kerana si suami dan si isteri sangat serius untuk bercerai, mereka berusaha keras untuk menambah anak, dan akhirnya mereka berhasil.

Setahun kemudian, ketika Sang Imam berjalan jalan, beliau bertemu Dengan pasangan suami istri ini, sedang bergandengan tangan dengan mesra,sehingga Sang Imam bertanya, : "Apakah Kalian tidak berhasil menambah anak sehingga kalian batal bercerai?".

Sang Suami lalu menjawab : "Tuhan maha pengasih, Dia memberikan kami tambahan anak, tapi sekaligus juga memberikan isyarat agar kami saling memaafkan dan saling mengasihi, kami memutuskan untuk tidak bercerai"."Bagaimana Tuhan memberikan isyaratNya?", tanya Sang Imam."Tuhan memberikan kami tambahan anak, bukan satu anak, tapi dua anak,anak kembar !!".

Moral cerita:

1. Menunda tindakan negatif sering bermanfaat, apalagi ketika seseorang sedang dikuasai emosi. Ada baiknya jika kita sedang marah kita menunda sesuatu yang ingin kita lakukan. Betapa banyak penghuni penjara yang menyesal: mengapa ketika marah memukuli istri/anak/dsb sampai tewas... .

2. Mampu mengendalikan marah [emosi] adalah kunci kebaikan, sehingga nabi saw menekankan laa taghdhab [jangan marah] kepada sahabatnya.

3. Kisah diatas menunjukkan kasih sayang Allah, tetapi ada yang lebih baik daripada kisah diatas yaitu pasangan suami isteri yang selalu berhasil meredam pertengkaran mereka. Mungkin keluar rumah meninggalkan isteri/suami yang marah untuk sebentar kemudian kembali membawa buah tangan/peralatan baru kesukaannya akan membuatnya tersenyum, meminta maaf dan berfikir betapa baiknya suaminya/isterinya.

4. Pertengkaran itu lumrah rumah tangga. Dengan pertengkaranlah keharmonisan semakin terasa nikmat. Orang bijaksana akan menikmati pertengkaran dan masa-masa setelahnya dengan tetap mengendalikan suasana agar tidak sampai keluar dari sunnah Nabi saw. Karena pertengkaran itu seperti api: sedikitnya bermanfaat tetapi besar dan luasnya membinasakan